dr. Ahmad Ismail
Gejala TB pada anak sangat bervariasi dan tidak saja melibatkan organ pernafasan melainkan banyak organ tubuh lain seperti kulit (skrofuloderma), tulang, otak, mata, usus, dan organ lain. Jangan sampai salah diagnosis atau overdiagnosis!
Siapa yang tidak kenal dengan tuberkulosis (TB)? Penyakit ini kian populer setelah dalam beberapa waktu belakangan ini muncul di layar kaca dengan slogan baru yang disandangnya, “3B: Bukan Batuk Biasa”. Beberapa orang awam mungkin lebih mengenalnya dengan sebutan penyakit flek paru.
Tak disangka, TB ternyata adalah penyakit usang yang sudah ditemukan sejak jaman Mesir kuno. Bahkan Khususnya untuk Indonesia, pada saat Candi Borobudur didirikan (abad VII), rupanya saat itu TB telah menjadi penyakit rakyat, sehingga pemahatnya mengambilnya sebagai contoh orang sakit yang bertemu Pangeran Sidharta Gautama. Orang tersebut kurus dengan bahu tertarik keatas dan tulang-tulang iganya menonjol keluar. Meski usang, tapi penyakit ini masih belum bisa juga dibasmi di muka bumi. Sampai-sampai, TB pun memiliki hari peringatan sedunia yang jatuh setiap tanggal 24 Maret. Dengan adanya hari peringatan itu, tentu diharapkan dunia aware terhadap penyakit ini.
Misdiagnosis atau Overdiagnosis
TB bukanlah penyakit yang hanya dapat diderita orang dewasa. Anak-anak pun terancam. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan terdapat lebih dari 250.000 anak menderita TB dan 100.000 di antaranya meninggal dunia. Di sinilah masalah mulai muncul. Insiden yang terus merangkak tidak disertai dengan kemudahan menegakkan diagnosis sedini mungkin.
Pada orang dewasa, diagnosis pasti ditegakkan apabila menemukan kuman Mycobacterium tuberculosis dalam sputum (dahak). Akan tetapi, anak-anak sangat sulit bila diminta untuk mengeluarkan dahak. Bila pun ada, jumlah dahak yang dikeluarkan tidak cukup. Jumlah dahak yang cukup untuk dilakukan pemeriksaan basil tahan asam (BTA) adalah sebesar 3-5 ml, dengan konsistensi kental dan purulen (agak lengket, bukan ludah).
Masalah kedua adalah jumlah kuman M. tuberculosis dalam sekret bronkus anak lebih sedikit daripada orang dewasa. Hal itu dikarenakan lokasi primer TB pada anak terletak di kelenjar limfe hilus dan parenkim paru bagian perifer. BTA positif baru dapat dilihat bila minimal jumlah kuman 5000/ml dahak.
Selain itu, gejala klinis TB pada anak tidak khas. Hal-hal tersebutlah yang sering membuat kita misdiagnosis atau overdiagnosis!
Batuk Kronik Jarang Terjadi
Gejala klinis TB pada anak yang umum terjadi adalah demam yang tidak tinggi, berkisar 38 derajad Celcius, biasanya timbul sore hari, 2-3 kali seminggu. Gejala lain adalah penurunan nafsu makan, dan gangguan tumbuh kembang. Batuk kronik yang merupakan gejala tersering pada TB paru dewasa, tidak terlalu mencolok pada anak. Mengapa? Sebab lesi primer TB paru pada anak umumnya terdapat di daerah parenkim yang tidak mempunyai reseptor batuk. Kalaupun terjadi, berarti limfadenitis regional sudah menekan bronkus dimana terdapat reseptor batuk. Batuk kronik pada anak lebih sering dikarenakan oleh asma.
Gejala-gejala yang tersebut di atas dikategorikan sebagai gejala nonspesifik. Perlu dicatat bahwa gejala nonspesifik dapat juga ditemukan pada kasus infeksi lain. Maka dari itu, keberadaan infeksi lain perlu dipikirkan agar anak tidak overtreated. Selanjutnya, gejala spesifik tergantung dari organ yang terkena seperti kulit (skrofuloderma), tulang, otak, mata, usus, dan organ lain.
Oleh karena gejala TB pada anak sangat bervariasi dan tidak saja melibatkan organ pernafasan melainkan banyak organ tubuh lain, maka ada yang menyebut TB sebagai the great immitator.
Diagnosis TB pada anak ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala klinis, uji tuberkulin serta pemeriksaan penunjang seperti laboratorium dan radiologi.
Uji tuberkulin (tes Mantoux) menjadi alat diagnostik utama pada kasus TB anak. Sebanyak 0,1 ml tuberkulin jenis PPD-RT 23 2 TU atau PPD-S 5 TU disuntikan intrakutan di bagian volar lengan bawah. Setelah 48-72 jam, daerah suntikan dibaca dan dilaporkan diameter indurasi yang terjadi dalam satuan milimeter. Perlu diperhatikan bahwa diameter yang diukur adalah diameter indurasi bukan diameter eritema! Untuk meminimalkan kesalahan pengukuran, lakukan palpasi secara halus pada daerah indurasi, lalu tentukan tepinya.
Hasil uji tuberkulin dapat dipengaruhi oleh status BCG anak. Pengaruh BCG terhadap reaksi positif tuberkulin paling lama berlangsung hingga 5 tahun setelah penyuntikan. Jadi, ketika membaca uji tuberkulin pada anak di atas 5 tahun, status BCG dapat dihiraukan.
Uji tuberkulin dinyatakan positif apabila diameter indurasi ≥5 mm pada anak dengan faktor risiko seperti menderita HIV dan malnutrisi berat; dan ≥10 mm pada anak lain tanpa memandang status BCG. Pada anak balita yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 10-15 mm masih mungkin disebabkan oleh BCG selain oleh infeksi TB. Bila indurasi ≥15 mm lebih mungkin karena infeksi TB daripada BCG.
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah hitung sel darah, laju endap darah, urinalisis, enzim hati dalam serum (SGOT/SGPT). Asam urat sebaiknya diperiksa apabila akan diberikan pirazinamid dan penglihatan harus diperiksa bila diberikan ethambutol. Pungsi lumbal sebaiknya dilakukan pada TB milier atau bila ada tanda-tanda kecurigaan TB milier atau meningitis TB.
Foto rontgen harus diambil dari 2 sisi yaitu postero-anterior dan lateral. Gambaran yang umum terlihat adalah pembesaran kelenjar hilus atau paratrakea. Dapat juga ditemukan kolaps atau konsolidasi dengan hiperinflasi lokal yang terjadi akibat obstruksi bronkus parsial. Diagnosis banding pembesaran kelenjar hilus/paratrakea pada anak adalah infeksi Mycoplasma, atau keganasan (limfoma sel T dan neuroblastoma). Hasil foto rontgen sebaiknya diinterpretasikan oleh radiolog yang kompeten dan berpengalaman, tegas Prof Cissy. Pada beberapa kasus, interpretasi foto rontgen sulit dilakukan sehingga CT-Scan mungkin diperlukan.
Berdasarkan keterangan sebelumnya bahwa pendiagnosis TB anak sulit dilakukan karena gejalanya tidak khas, dibuatlah suatu kesepakatan penanggulangan TB anak oleh beberapa pakar. Kesepakatan ini dibuat untuk memudahkan penanganan TB anak secara luas, terutama di daerah perifer atau pada fasilitas kesehatan yang kurang memadai. Kesepakatan yang diajukan adalah penggunaan system skor (scoring system)
Bila skor ≥6, beri OAT selama 2 bulan, lalu evaluasi. Bila respon positif maka terapi diteruskan, tetapi bila tidak ada respon, rujuk ke rumah sakit untuk ditinjau lebih lanjut. Rujukan ke rumah sakit dilakukan sesegera mungkin bila ditemukan tanda-tanda bahaya seperti gambaran milier pada foto rontgen, gibbus, skrofuloderma, dan terdapat tanda infeksi sistim saraf pusat (kejang, kaku kuduk, kesadaran menurun), serta kegawatan lain. [Tabel 1]
WHO membuat kriteria anak yang diduga (suspected) menderita TB, bila:
1. sakit, dengan riwayat kontak dengan seseorang yang diduga atau dikonfirmasi menderita TB paru;
2. tidak kembali sehat setelah sakit campak atau batuk rejan (whooping cough);
3. mengalami penurunan berat badan, batuk, dan demam yang tidak berespon dengan antibiotik saluran nafas;
4. terdapat pembesaran abdomen, teraba massa keras tak terasa sakit, dan ascites;
5. terdapat pembesaran kelenjar getah bening superfisial, tidak terasa sakit, dan berbatas tegas;
6. mengalami gejala-gejala yang mengarah ke meningitis atau penyakit sistim saraf pusat.
Tabel 1. Sistim Skoring Diagnosis TB Anak
Parameter 0 1 2 3 skor
Riwayat kontak: - positif TB, - positif TB, ....
BTA negatif BTA positif
Uji tuberkulin: Negatif - - Positif ....
Berat badan: - penurunan BB malnutrisi - ....
(BGM) berat
Demam: - ≥2 minggu - - ....
Lama Batuk: - ≥2 minggu - - ....
Pembesaran
Kelenjar limfe - jumlah >1 - - ....
leher, ketiak, diameter≥1 cm
inguinal tidak nyeri
pembengkakan - ada - - ....
Tulang, sendi pembengkakan
Rontgent Dada normal, kesan TB - - ....
tidak ada
kelainan
Jumlah Skor ....
Kemoprofilaksis
Seorang anak dapat terinfeksi kuman TB tetapi belum tentu bermanifestasi menjadi sakit TB. Apabila daya tahan tubuh anak menurun atau virulensi kuman TB yang menginfeksi ganas maka anak yang semula ‘hanya’ terinfeksi menjadi sakit TB.
Ada 2 macam kemoprofilaksis TB pada anak. [Tabel 2] Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi tuberkulosis pada anak, dengan memberikan isoniazid 5-10 mg/kgBB/hari, dosis tunggal. Kemoprofilaksis primer dihentikan bila sumber kontak tidak menular lagi dan anak ternyata tetap tidak infeksi – dibuktikan dengan uji tuberkulin ulang. Kalau ternyata hasil uji tuberkulin positif maka harus dievaluasi lebih lanjut.
Kemoprofilaksis sekunder bertujuan mencegah aktifnya infeksi sehingga anak tidak sakit – yang ditandai dengan uji tuberkulin positif tetapi gejala klinis dan radiologis normal. Yang diberikan adalah isoniazid 10 mg/kgBB/hari selama 6-12 bulan.
Kelompok anak terinfeksi TB yang berisiko tinggi menderita TB adalah:
1. usia <5 tahun
2. menderita penyakit infeksi (morbili, varisela)
3. mendapat obat imunosupresif jangka panjang (sitostatik, steroid, dll)
4. usia pubertas
5. infeksi paru TB, konversi uji tuberkuiln dalam kurang dari 12 bulan.
Tabel 2. Klasifikasi Kelas TB pada Anak
Kelas Kontak Infeksi Sakit Tatalaksana
0 - - - -
1 + - - Profilaksis 1
2 + + - Profilaksis 2
3 + + + Terapi TB
OAT
Prinsip penatalaksaan TB anak adalah lebih cepat mengobati daripada terlambat agar komplikasi tidak terjadi. Bila dianamnesis dan diperiksa, anak kemungkinan besar menderita TB maka beri OAT selama 2 bulan. Lalu, observasi apakah terdapat perbaikan klinis. Bila ya, lanjutkan OAT lagi (total 6-12 bulan); tetapi bila tidak, mungkin bukan TB atau TB resisten terhadap OAT.
Lama pengobatan TB berkisar 6-12 bulan yang dibagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif dan fase lanjutan. Pada fase intensif, OAT yang diberikan adalah rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid selama 2 bulan pertama. Sedangkan fase lanjutan hanya diberikan rifampisin dan isoniazid selama sisa waktu pengobatan. Waktu yang diperlukan untuk mengobati TB boleh dibilang lama, dengan tujuan mencegah terjadinya resistensi obat, membunuh kuman intraselular dan ekstraselular, serta mengurangi kemungkinan terjadinya relaps. [Tabel 3 & 4]
Respon anak terhadap OAT (farmakokinetik) berbeda dengan dewasa. Toleransi anak terhadap dosis OAT per kilogram berat badan lebih tinggi. Efek samping hepatitis akibat isoniazid dan rifampisin lebih banyak ditemukan pada anak. Maka dari itu, dianjurkan untuk memeriksa rutin uji faal hati sebelum pengobatan, setelah 2 minggu dan 1 bulan pengobatan.
Dosis OAT pada anak harus mengacu pada dosis per kilogram berat badan. Karena OAT yang tersedia di pasaran berbentuk tablet untuk orang dewasa, maka saat diberikan kepada anak, tablet itu harus digerus menjadi puyer. Tak hanya itu, isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid tidak boleh dicampur menjadi satu puyer sebab dapat mengganggu bioavailabilitas rifampisin.
Berbicara mengenai minum OAT, tidak hanya sekedar minum tetapi juga patuh. Kepatuhan minum OAT meliputi benar obat (right drugs), benar dosis (right doses), dan benar waktu pemberian (right intervals) – tertuang dalam program Direct Observed Therapy (DOT) – menjadi bagian yang sangat krusial. Orang tua atau pengasuh anak dapat dijadikan pengawas minum obat yang bertugas mengawasi anak agar tidak lupa minum OAT. Dilaporkan pada tahun 1999, sekitar 82,9% anak menjalankan program DOT, dan 94,8% diantaranya menunaikannya sampai tuntas. DOT juga berhasil mengurangi risiko terjadinya TB resisten terhadap OAT.
Tabel 3. Dosis OAT pada TB anak
Jenis obat BB < 10 kg BB 10-19 kg BB 20-32 kg
Isoniazid (H) 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampicin (R) 75 mg 150 mg 300 mg
Pyrazinamide (Z) 150 mg 300 mg 600 mg
Tabel 4. Dosis OAT Kombinasi pada TB anak
Berat Badan 2 bulan tiap hari 4 bulan tiap hari
RHZ (75/50/150) RH (75/50)
5-9 kg 1 tablet 1 tablet
10-19 kg 2 tablet 2 tablet
20-32 kg 4 tablet 4 tablet
Catatan:
- Bila BB ≥33 kg dosis disesuaikan dengan Tabel 2 (perhatikan dosis maksimal)
- Bila BB <5 kg sebaiknya dirujuk ke RS
- Obat harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah)
Pencegahan
Cara terbaik mencegah terjadinya TB anak adalah dengan menemukan, mendiagnosa, dan mengobati TB dewasa secara tuntas. Gagasan itu muncul karena pada umumnya anak terinfeksi TB setelah terpapar dari orang dewasa dengan sputum positif kuman TB. Ketika seorang anak sudah menderita TB aktif maka seluruh anggota keluarga dan orang lain yang kontak dekat dengan anak tersebut harus diperiksa untuk mencari sumber penularan lalu diobati. Dengan demikian, rantai penularan dapat terputus sedini mungkin.
Cara lain adalah imunisasi BCG. Meskipun masih terdapat kontroversi mengenai keefektifitasannya, BCG dapat mengurangi risiko terjadinya komplikasi TB seperti milier, meningitis, dan spondilitis. Melakukan imunisasi BCG ulangan tidak direkomendasikan karena tidak memberikan efek protektif tambahan.
Masalah TB pada anak memang masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat di dunia karena anak yang menderita TB tidak mudah menularkan ke orang sekitarnya. Padahal bukan penularan yang menjadi masalah, melainkan diagnosis yang sulit. Masihkah kita memicingkan mata terhadap situasi tersebut?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar